"Perjalanan menempuh ratusan ribu kilometer harus dimulai dengan satu langkah kaki".

Kamis, 05 Maret 2015

Gemintang yang bersinar terang

09.36 Posted by azkasadan No comments

Langit Banda Aceh, Aceh, selepas maghrib.

"Aisyah, Aisyah...." Langkah ummi terdengar berderap mencari. Kemana gerangan anak itu ? 
Sudah terlalu larut jika ia bermain di rumah pakdenya.

" Ah, rupanya kau disini, nak..." Menghela nafas lega, ummi mendapati buah hatinya tengah duduk di gazebo favoritnya. Kepalanya mengadah, matanya menatap langit. Hanya sekilas ia menoleh saat ia dapati kedatangan umminya.

"Sedang apa Aisyah ? tidur yuk, besok pagi-pagi kita harus segera berangkat kembali ke Jakarta". Perlahan ummi menghampiri Aisyah dan duduk di sebelahnya.

Aisyah bergeming, matanya masih khusyuk menatap langit. "Mi, ada berapa banyak bintang di langit sana ?". Umminya hanya tersenyum, matanya ikut khusyuk menatap langit. Banda Aceh malam ini cerah. Tidak hanya berteman lengkung sabit sang rembulan, tapi juga gemintangan.

"Dua puluh mi ?"

"Hmm..." Ummi Aisyah berfikir untuk mencari jawaban yang terbaik.

"Mi ummi, seratus ya ?" Seperti biasa, Aisyah tidak sabaran ingin mendengar jawaban dari umminya.

"Lebih..?" kali ini umminya menjawabnya dengan cepat.

"Banyak ya mi?"

"Iya..."

"Tapi kenapa cuma delapan
mi yang sinarnya sangat terang ?"

Ummi menggali memori ingatan masa SMAnya tentang benda-benda astronomi. 
Gawat, ingatannya  terkubur dalam sekali rupanya.
"Karena jarak bintang yang lainnya terlalu jauh dari bumi, nak". Ummi mencoba memutar memori-memori yang ada. 

"Hmm... Terus kenapa di rumah kita jarang sekali terlihat ada bintang mi ?"

"Karena terlalu banyak asap dan polusi Aisyah, sehingga bintang-bintang itu terlihat redup..."

"Yaaah, kasihan ya mereka mi.."

Ummi tertawa kecil, "Nah, sekarang ummi mau tanya, Aisyah udah siapin pakaiannya belum untuk kita pulang besok pagi ?"

Aisyah mengalihkan perhatianya dari langit, ganti menatap wajah umminya. Ada sorot memelas di pancaran matanya. "Aisyah enggak mau balik ke rumah mi, mau disini aja.."

"Lho, kenapa ? hari senin kamu kan sudah masuk sekolah lho.."

"Aisyah mau seperti bintang-bintang disini saja mi, bisa terlihat terang dan menyenangkan siapa saja yang melihatnya" Aisyah kembali khusyuk menatap langit.

Ummi mengerutkan kening, ada apa dengan sulungnya ini ?

"Mi, apa bintang-bintang yang jaraknya jauh itu pernah kesaal dengan bintang-bintang yang jaraknya dekat ? apa bintang-bintang yang di atas rumah kita pernah iri dengan bintang-bintang di atas rumah nenek ?"

"Hmm.. Ummi rasa tidak, baiklah nak, ummi turuti keinginanmu. "Mereka telah menjalankan tugas mereka dengan maksimal, menerangi semesta dengan kadar yang mereka bisa. Soal jarak dan ada tidaknya polusi, bukan urusan mereka.."

Aisyah terdiam.

"Bahkan, kamu tau nak ? banyak dari bintang itu yang sudah mati, tapi karena jaraknya yang sangaaaaaat jauh dari bumi, cahayanya baru sampai ke kita dan masih akan ada hingga beberapa lama hingga ratusan tahun cahaya.."

Kini Aisyah mulai menoleh ke wajah bijak di sebelahnya. Ada separuh jawaban yang melahirkan separuh keheranan.

Ibu masih menatap langit, lirih lisannya bertutur. "Kau bilang tadi ingin menjadi seperti mereka 
nak ?" sekarang matanya beradu dengan mata Aisyah, "jadilah anak yang baik, cintai Allah yang telah menciptakan kita, nurut apa yang Abi dan Ummi katakan, belajar yang rajin, enggak boleh lagi iri-irian sama temen-temenmu di sekolah dan.. ayo sekarang kita siap-siap untuk kepulangan kita esok". Ummi berusaha untuk menutup bincang malam itu seceria mungkin.

Aisyah mulai tersenyum-senyum cerah, "Aisyah juga bisa bersinar seperti mereka dengan sangat terang kan mi ?"

"Iya, tapi kamu enggak boleh sombong, kalau punya makanan di sekolah harus bagi-bagi dengan temanmu ya. Ummi gak mau dengar lagi kamu berantam dengan Sarah gara-gara rebutan roti."

"Abisnya Sarah juga sombong mi, mentang-mentang dapat nilai sembilan, padahal kan Aisyah yang ngajarin.." Wajah Aisyah kembali merengut.

"Eh, hayo.. inget gak kata-kata ummi tadi ? Bintang aja engga pake iri-irian, selain itu nak, ingat syair ini ya..

Merendah hatilah, maka kau akan menjadi bintang gemintang
berkilau dipandang orang di atas geliat air 
dan sang bintang pun jauh tinggi.

Lamat-lamat ummi menyenandungkan syair favoritnya, sembari menatap Aisyah tepat di bola matanya. "Jangan seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit, padahal dirinya rendah-hina.
Kau ingat Aisyah, asaplah yang membuat bintang jadi tak terlihat di langit rumah kita. Tentu kita tidak mau menjadi asap yang menyebalkan seperti itu kan ?"

Sekarang mereka berdua tersenyum.

"Ayo mi,kita masuk ke dalam, siap-siap!" Sambil melompat dari gazebo, Aisyah tersenyum senang.
Ia selalu suka saat umminya mulai bersyair. Aktivitas favorit kedua setelah senandung Qur'an setiap subuh dan maghrib yang lazim mereka lakukan bersama.

Ummi tertawa lebar mendapati lonjakan emosi anaknya. "Ayo kita siapkan buku bacaan juga buat perjalanan kita di pesawat besok ya.."

Beriringan mereka masuk kedalam rumah, bergandengan tangan. "Wah, Asiik, naik pesawat lagi ya mi ? pokoknya Aisyah mau di pinggir jendela lagi ya mi.. Aaaah Aisyah saaaaaaayang Ummi.."

Melonjak-lonjak kegirangan, Aisyah seperti lupa pada kegalauannya beberapa menit yang lalu. Meninggalkan umminya yang ganti termangu-mangu. Membawa sang ummi pada cakap-cakap mereka sepekan lalu, saat keberangkatannya ke kampung halaman umminya di mulai, dengan burung raksasa yang bisa terbang itu.

"Mi, ada enggak di dunia ini pesawat yang enggak ada habis-habisnya ? maksud Aisyah, dia enggak berhenti-berhenti untuk berterbangan di langit ?" Bersisian mereka duduk, tentu dengan Aisyah di dekat jendela. Sang abi tersenyum mendengar pertanyaan dari buah hati mereka. Tapi sama dengan Aisyah, Ia lebih suka mendengar jawaban istrinya ketimbang jawabannya sendiri.

Ummi terdiam, memejamkan mata, mengingat-ingat sesuatu kemudia tersenyum. "Ada.." Senyumannya dalam, sembari bola matanya bergilir menatap tiga titik : luar jendela, mata Aisyah dan terakhir mata suaminya.

"Ada mi?" Mata Aisyah membesar.

"Iya ada, bahkan kereta yang ummi maksud ini bisa membawa kita ke syuraNya..."

"Waah, keren banget ya mi. Itu ada dimana mi?

Sekarang gantian sang abi tersenyum-senyum. Ia ingat betul kata-kata ini.
"Ada di hati Abi, Ummi dan Aisyah." Suara khas Abi terdengar. Ia melipat koran paginya, menatap dalam mata istrinya dan meninggalkan ketermanguan pada wajah Aisyah.

"Karena Aisyah anakku yang shalihah". Sekaran suara ummi terdengar perlahan, seperti menjadi corong dari kata-kata yang menggema di hati Abi. 

"Cinta adalah bagaikan pesawat,
 ia hanya akan terbang di atas langit-langit kebaikan
 begitu kebaikan habis, pesawat juga akan berhenti mengudara."

Aisyah menatap Abi dan umminya bergantian. Entah kenapa, ada semacam kehangatan luar biasa yang menelusup di dalam dada Aisyah, membuatnya riang menempuh keberangkatan. Perjalanan ini akan sangat menyenangkan. Pupus sudah semua kekhawatirannya akan mudiknya dengan pesawat ini.

"Nah, sekarang ayo kita berdoa dulu". Abi memimpin doa seiring bergeraknya perlahan laju pesawat, " Bismillahi majreeha wa mursaahaa inna rabbii laghafuururrahiiimm...". 


0 komentar:

Posting Komentar